Selasa, 11 September 2018

Bandicam 3.4.4 Full Version


Bandicam 3.4.4 Full Version : merupakan salah satu software screen recording yang cukup banyak dan populer digunakan. Hal yang menarik ketika kita menggunakan Bandicam ini adalah ukuran yang kecil dan ringan. Meski ukurannya terbilang kecil dan ringan akan tetapi hasil rekamannya tidak boleh dianggap remeh. Hasil rekaman dari Bandicam ini juga bisa dikatakan oke dengan kualitas baik sob. Penasaran dengan Bandicam ? Yuk langsung disedot aja

Fitur Bandicam 3.4.4 :

·         Bandicam can record DirectX/OpenGL programs like Fraps (Fraps Alternative, Better than Fraps®).
·         The recorded file size is much smaller than other software (Bandicam compresses the video when recording).
·         You can upload the recorded file to YouTube without converting (720p/1080p full HD video can be made).
·         You can record over 24 hours without stopping (Auto Complete Recording function can be used).
·         You can record video at resolutions of up to 2560×1600 in high quality.
·         You will experience much less lag than with other capture programs (It uses much lower CPU/GPU/HDD)
Download :
·         Bandicam 3.4.4 Full Version
        [Mediafire]
Panduan Instalasi:
  • Download file pada link download di atas.
  • Matikan Koneksi Internet.
  • Extract dan instal Bandicam 3.4.4 sampai selesai.
  • Close atau tutup apabila Bandicam sedang berjalan.
  • Copy – Paste file keygen/jamu ke folder instalasi (C:\Program Files (x86)\Bandicam) dan jalankan dengan mode Run As Admin.
  • Isi dengan sembarang email dan buat unik.
  • Enjoy!



Read more...

Minggu, 02 September 2018

LATAR BELAKANG, PENYEBAB,TUJUAN DI/TII (LENKAP)

1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII

Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
  1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
  2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
  3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
  4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi  bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

6. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.

7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.

Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.


Read more...
PRRI/PREMESTA
1. Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah. 

Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.

Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.

Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.

Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
  1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
  2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
  3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
  4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
  5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.

Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.

2. Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.

Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.

3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.

Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.

Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.





Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.

Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.

5. Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA

Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA, tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.
  1. Letnan Kolonel Ahmad Husein
  2. Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri Dalam negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba di Padang. Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat sebagai Menteri Pembangunan. Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.
  3. Mayor Eddy Gagola
  4. Kolonel Alexander Evert Kawilarang
  5. Kolonel D.J Somba
  6. Kapten Wim Najoan
  7. Mayor Dolf Runturambi
  8. Letkol Ventje Sumual



Read more...

LATAR BELAKANG PENYEBAB TUJUAN PKI MADIUN

PKI MADIUN

1. Penyebab / Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan PKI di Madiun

Tidak lama setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 18 September 1948 terjadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemerdekaan yang seharusnya dihiasi dengan pembangunan Bangsa, justru malah dikacaukan oleh sekelompok orang yang tidak paham tentang arti kemerdekaan Indonesia. Kelompok yang satu ini lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada kepentingan nasional yang seharusnya lebih diperhatikan untuk kemajuan bangsa. Pemahaman komunisme tumbuh dibenak orang-orang PKI, sedangkan rakyat biasa seperti para petani, buruh dan lain sebagainya tidak tahu apa arti dari paham politik tersebut. Mereka mengikuti para aktivis PKI hanya karena ikut-ikutan dan bukan karena pemahaman yang baik tentang komunisme tersebut.

Peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI ini diawali dengan kesepakatan perjanjian Renville, di mana Negara Indonesia berada dalam posisi yang sangat dirugikan. Kerugian pertama yaitu adanya penyempitan kekuasaan wilayah Indonesia dan hal ini semakin memperlemah posisi Indonesia, karena pada saat itu posisi Negara Indonesia terkurung oleh kekuasaan Belanda. Kerugian kedua yang terjadi di Indonesia adalah hancurnya sektor perekonomian, dimana masyarakat Indonesia sangat lemah dalam bidang perekonomian karena di blokade oleh Negara Belanda. Kerugian ketiga yang dirasakan oleh Negara Republik Indonesia adalah konflik antara Amir Syariffuddin dan kelompok yang kontra terhadap hasil perjanjian Renville, dimana kelompok ini didominasi oleh Partai Nasional Indonesia dan Masyumi.

Tidak lama setelah perjanjian Renville, pada bulan Januari 1948, Amir Syariffuddin lengser dari jabatannya, dan lengsernya Amir Syariffuddin disikapi dengan rasa kecewa oleh Muso. Setelah Amir Syariffuddin turun dari jabatannya, Mohammad Hatta ditunjuk untuk membentuk kabinet, dan pada pembentukan kabinet tersebut, Mohammad Hatta mengajak Masyumi, PNI, dan Sayap kiri untuk bergabung dan bersama-sama membangun kabinet koalisi dengan proporsi wakil yang seimbang. Dalam perundingannya, Sayap Kiri tidak menolak tawaran tersebut untuk terlibat dengan kabinet koalisi Hatta. Namun, Sayap Kiri menginginkan kedudukan yang lebih strategis dan lebih dominan dengan mengajukan pengaturan penempatan kedudukan bagi wakil-wakilnya. Amir Syariffuddin menggalang kekuatan dengan kelompok sosialis lainnya seperti, Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosial Indonesia ( PESINDO), Partai Sosialisasi Indonesia (PSI), dan partai buruh. Kelompok tersebut diberi nama perjuangan Front Demokratik Rakyat (FDR).

2. Tujuan Pemberontakan PKI di Madiun

Tujuan pertama yang dilakukan oleh PKI adalah dengan melakukan propaganda kepada masyarakat untuk mempercayai akan pentingnya Front Nasional. Lewat Front Nasional tersebut dilakukan penggalangan kekuatan revolusioner dari masyarakat tani, buruh, dan golongan rakyat miskin lainnya dengan memanfaatkan keresahan sosial yang terjadi di antara masyarakat tersebut. PKI berencana bahwa setelah upaya tersebut dilakukan, maka selanjutnya PKI akan berkoalisi dengan tentara. PKI beranggapan bahwa tentara Indonesia harus memiliki sikap yang sama seperti tentara merah yang berada di Uni Soviet. Tentara yang dipilih oleh PKI harus memiliki pengetahuan di bidang politik dan dibimbing oleh opsir-opsir politik, serta harus memiliki pemikiran anti penjajahan. Sebagian besar tentara yang bergabung dengan PKI adalah tentara yang mempunyai rasa sakit hati akibat adanya program Rasionalisasi dan Reorganisasi oleh kabinet Hatta dan secara kebetulan mereka juga menemukan persamaan tujuan dengan PKI.

Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun di mulai pada jam 03.00 setelah terdengarnya tembakan pistol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non-parlementer oleh kelompok komunis, kemudian disusul dengan adanya gerakan pelucutan senjata. Selanjutnya, kesatuan PKI menguasai tempat-tempat penting yang berada di kota Madiun, seperti tempat penyimpanan uang rakyat (Bank), Kantor Polisi, Kantor Pos, dan Kantor Telepon. Setelah itu, para pasukan PKI melanjutkan aksinya dengan menguasai Kantor Radio RRI dan Gelora Pemuda yang akan digunakan sebagai alat untuk mengumumkan ke seluruh penjuru negeri mengenai penguasaan kota Madiun yang nantinya akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PKI juga mengumumkan pendirian Sovyet Republik Indonesia dan pembentukan pemerintahan Front Nasional. Proklamasi ini diumumkan oleh Supardi, seorang tokoh FDR dari PESINDO dengan diiringi pengibaran bendera merah. Dengan adanya proklamasi tersebut, maka kota Madiun dan sekitarnya dinyatakan resmi sebagai daerah yang merdeka dan tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia.
Pada tanggal 18 September 1948, PKI menyatakan bahwa berdirinya Soviet Republik Indonesia tersebut bertujuan untuk mengganti Pancasila (Dasar Negara Indonesia) dengan komunis. Namun, ketika Sovyet Republik Indonesia diumumkan,  Amir Syariffuddin dan Muso yang selanjutnya ditunjuk sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka malah berada luar di kota Madiun. Organisasi-organisasi yang sudah dipersiapkan untuk menjalankan pemberontakan tersebut antara lain: kelompok yang di pimpin oleh Sumantoro (PESINDO), Pasukan Divisi VI Jawa Timur dipimpin oleh Kolonel Djokosujono, dan Letkol Dahlan. Waktu itu, panglima Divisi VI Jawa Timur adalah seorang Kolonel bernama Sunkono. Selain itu, ada juga sebagian Divisi Penembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Sutojo dan Letkon Suadi. Dalam gerakan ini, organisasi PKI telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pegawai pemerintah dan menangkap empat orang anggota militer. Perebutan wilayah ini berlangsung dengan lancar, dan selanjutnya mereka mengibarkan bendera merah di depan Balai Kota.

Anggota komunis yang dipimpin oleh Sumarsono, Dahlan, dan Djokosujono dengan cepat telah menguasai daerah-daerah yang berada di kota Madiun, karena sebagian besar tentara yang berada di kota tersebut tidak melakukan perlawanan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tersebut. Di sisi lain, pertahanan kota Madiun sebelumnya memang lemah sehingga dengan cepat sudah dikuasai oleh Pasukan Brigade 29.121. Pada jam 07.00 pagi, PKI telah berhasil menguasai kota Madiun dengan sepenuhnya.


3. Upaya Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun

Pemberontakan PKI yang terjadi di kota Madiun mendorong Presiden Republik Indonesia untuk melakukan tindakan tegas terhadap PKI. Presiden RI, Ir. Soekarno memusatkan seluruh kekuasaan yang berada di bawah komadonya. Ketika beliau mendengar berita bahwa kota Madiun telah dikuasai oleh sekelompok pemberontak dari PKI yang dipimpin Muso, maka pemerintah langsung mengadakan Sidang Kabinet Lengkap yang berlangsung pada tanggal 19 September 1948 dan diketuai secara langsung oleh Ir. Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain:
  • Bahwa peristiwa yang terjadi di kota Madiun yang digerakan oleh PKI adalah suatu pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia dan memberikan instruksi kepada alat-alat Negara dan Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara.
  • Memberikan kekuasaan penuh terhadap Jenderal Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan dan ketertiban di Madiun dan daerah-daerah lainnya.
Setelah Peresiden memberikan Komando kepada Angkatan perang untuk memulihkan keamanan di kota Madiun, dengan segera Angkatan Perang mengadakan penangkapan terhadap provokator yang membahayakan Negara dan diadakan penggerebegan di tempat-tempat yang dianggap perlu untuk diamankan. Untuk melaksanakan intruksi presiden tersebut dengan sebagik-baiknya, maka Markas Besar Angkatan Perang segera menunjuk dan mengangkat Kolonel Sungkono, Panglima Divisi VI Jawa Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang selanjutnya mendapat tugas untuk memimpin pasukan dari arah timur untuk menumpas Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI Musso dan mengamankan kembali seluruh daerah di Jawa Timur dari ancaman pemberontak.

Setelah mendapat perintah tersebut, Kolonel Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad untuk bergerak menuju kota Madiun. Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang Mayor bernama Jonosewojo.  Pembagian pasukan terdiri atas Batalyon Sabirin Mucthar bergerak menuju Trenggalek terus ke Ponorogo, Batalyon Gabungan yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin bergerak melalui Sawahan menuju Dungus dan Madiun, sedangkan Batalyon Sunarjadi bergerak melalui Tawangmangu, Sarangan, Plaosan.

Selain itu, pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin juga berusaha untuk menguasai Madiun. Untuk tugas operasi ini, Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan dari 8 Batalyon, yang di antaranya adalah: Batalyon Achmad Wiaranatakusumah, Batalyon Lukas (Pengganti dari Batalyon Umar), Batalyon Daeng, Batalyon Nasuhi, Batalyon Kusno Utomo (dipimpin Letkol Kusno Utomo yang juga memegang dua Batalyon), dan Batalyon Sambas yang kemudian diganti dengan Batalyon Darsono, Batalyon A. Kosahi Batalyon Kemal Idris. Di sisi lain, pasukan penembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Selamet Ryadi, Pasukan Perang Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi, dan pasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Surono. Batalyon Kemal Idris dan Batalyon A. Kosashi yang di datangkan dari Yogyakarta bergerak dari arau utara dengan tujuan Pati. Batalyon Daeng bergerak dari Utara menuju Cepu dan blora. Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad Wiranatakusuma bergerak ke arah selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan. Batalyon Lukas dan Batalyon darsono bergerak ke arah Madiun. Sedangkan untuk pasukan Panembahan Senopati bergerak ke arah utara dan Pasukan Tentara Pelajar yang dikomandoi oleh Mayor Achmadi bergerak ke Madiun melalui Sarangan.
Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo akhirnya tertembak mati oleh Brigade S yang di pimpin oleh Kapten Sunandar pada tanggal 32 Oktober 1948. Penembakan ini terjadi sewaktu Kapten Sunandar sedang melakukan patroli. Sedangkan pada tanggal 20 November 1948, pasukan Amir Syariffuddin yang berusaha menuju Tambakromo terlihat sangat menyedihkan. Banyak diantara pasukan Amir ingin melarikan diri, tetapi warga selalu siap untuk menangkap mereka. Banyak mayat para pemberontak ditemukan karena kelaparan atau sakit, dan akhirnya Amir Syariffuddin menyerahkan diri beserta sisa pasukannya pada tanggal 29 November 1948.

Gerakan Operasi Militer yang dilancarkan oleh pasukan yang taat dan patuh kepada pemerintah Republik Indonesia berjalan dengan singkat. Hanya dalam waktu 12 hari, Madiun beserta daerah-daerah di sekitarnya dapat dikuasai kembali, tepatnya pada tanggal 30 September 1948. Setelah Madiun dapat direbut kembali oleh pasukan TNI, keamanan kota Madiun-pun mulai terkendali dan setiap rumah yang berada di sekitarnya mengibarkan bendera Merah Putih.

4. Dampak dari Pemberontakan PKI di Madiun

Terjadinya pemberontakan di kota Madiun membuat keamanan di daerah tersebut tidak stabil sehingga meresahkan warga yang berada di daerah tersebut. Akibat pemberontakan tersebut, aktivitas warga biasa seperti petani dan buruh terganggu. Kelancaran untuk membangun bangsa pada saat itu menjadi terganggu dan hal ini merugikan masyarakat Indonesia. Dampak lain yang disebabkan oleh pemberontakan PKI yakni, banyaknya korban jiwa yang baik dari anggota TNI maupun anggota PKI, tidak sedikit pasukan kedua pihak yang terluka dan mati. Pasukan PKI juga banyak yang meninggal karena kelaparan dan penyakit. Pemberontakan PKI ini melibatkan setidaknya 8 Batalyon dan pasukan Militer Indonesia yang harus bertempur melawan para pemberontak yang sebetulnya juga merupakan rakyat Indonesia.


Read more...

RANGKUMAN PERISTIWA PEMBERONTAKAN G 30 S/PKI

PEMBERONTAKAN G 30 S/PKI

Gerakan 30 September atau G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah  kejadian pada 30 September 1965di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lain dibunuh dalam pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

I.                    Latar Belakang Pemberontakan :


·         PKI menjadi salah satu partai pemenang dalam pemilu 1955. 
·         Terbentuknya poros Jakarta-Peking. 
·         Penerapan sistem pemerintahan berlandaskan NASAKOM. 
·         Pergolakan politik yang semakin tidak stabil. 
·         Terjadinya sengketa antara AD dan PKI.

1.    II.                  Tujuan Pembertontakan : 
  1. Mengubah ideologi pancasila menjadi ideologi komunis. 
  2. Merebut pemerintahan RI.

Tempat dan Waktu Kejadian : Jakarta dan Yogyakarta, 30 September 1965

               Tokoh-tokoh:
  1. Tokoh Pemberontakan : D. N Aidit dibantu oleh Letkol Untung Sutopo 
  2. Keenam pejabat tinggi yang dibunuh:
  3. Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani 
  4. Mayjen TNI R. Suprapto
  5. Mayjen TNI M.T. Haryono 
  6. Mayjen TNI S. Parman 
  7. Brigjen TNI D.I. Panjaitan 
  8. Brigjen TNI S. Siswomiharjo 
·         Korban-korban lain :
1.    AIP Karel Satsuit Tubun 
2.    Brigjen Katamso Darmokusumo  
3.    Kolonel Sugiono 
4.    Ade Irma Suryani Nasution  (Putri Jenderal TNI A.H. Nasution) 
5.    Lettu Pierre Tandean 
6.       Jenderal TNI A.H. Nasution (Diduga salah satu target tapi selamat)

  • Tokoh penumpas :
o   Mayjen Soeharto
o   Kolonel Sarwo Edi

·         V.                  Tindakan yang Dilakukan Pemberontak
1.    Membentuk ormas-ormas, seperti : SOSBI (Kaum Buruh), BTI (Kaum Tani), GERWANI, dan LEKRA.
2.    Mengusulkan terbentuknya angkatan ke-5.
3.    Memfitnah AD dengan isu Cup Dewan Jenderal.
4.    Merebut sarana penting, seperti : Stasiun RRI, Pusat Telekomunikasi, dan Bandara Halim Perdana Kusumah.
5.    Menculik dan membunuh para Jenderal dari AD di Lubang Buaya.

VI.                Tindakan yang Dilakukan Pemerintah

TNI dibawah komando Soeharto pada 1 Oktober berhasil menguasai pangkalan udara Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya, kemudian keesokan harinya yaitu tanggal 2 Oktober 1965 jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di Lubang Buaya dan dimakamkan bertepatan dengan ulang tahun ABRI yaitu tanggal 5 Oktober 1965 di TMP Kalibata. Beberapa orang yang terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI kemudian melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau Jawa termasuk Letkol Untung yang akhirnya berhasil ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965, D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI waktu itu ditangkap di Surakarta pada 22 November 1965 dan tokoh-tokoh PKI lainnya. Kesepuluh perwira di atas, oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Tanggal 1 Oktober juga ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

VII.              Dampak Pemberontakan

1.    Presiden Soekarno kehilangan kewibawaan di mata rakyat Indonesia. 
2.    Kondisi politik Indonesia semakin tidak stabil sebab muncul pertentangan dalam  lembaga tinggi negara.
3.     Pembubaran PKI. 
4.    Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur- unsur PKI. 
5.    Penurunan harga-harga barang. 
6.    Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu dari Rp. 1000 menjadi Rp. 100. 
7.    Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali lipat tetapi kebijakan ini menyebabkan kenaikan harga yang sulit untuk dikendalikan.

1.    Sumber:


Read more...