1. Latar
Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam
proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia
adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis
bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan
Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa
kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan
menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering
mereka sebut dengan hukum kafir.
Dalam
perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah
yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam
tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan
ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat,
Indonesia.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa
Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya
yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan
sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat
provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah
ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa
melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar
jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh
penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan
untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan
pasukan Siliwangi.
2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di
karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Tempat tinggal pasukan DI/TII
ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII
untuk bergerilya.
- Pasukan Sekarmadji dapat
bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
- Pasukan DI/TII mendapat bantuan
dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para
pendukung Negara pasundan.
- Suasana Politik yang tidak
konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah
mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
Selanjutnya,
untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan
Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan
“Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan
Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya,
Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan
Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati,
dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat
dimusnahkan.
3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi
menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan
kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang
melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak
senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama
peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan
antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan
penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima
terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII
juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah
semenjak adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah.
Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun
1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal
di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan
cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan
para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan
pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan
bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan
setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa
gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang
di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam
(AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman.
Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII)
dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini
sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini
bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan
Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan
tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng
Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada
tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.
5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu
Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari
organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh
kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah
pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara
baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan
tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas
peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu
Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah
itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di
kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di
Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di
ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.
6. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh
(Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang
tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh)
yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang).
Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut
yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi
masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat
provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai
pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk
pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah
sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa
daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah
yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa,
setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah
menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara.
Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud
Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi
Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953.
Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi
untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan
propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin
oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan
kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI
melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari
kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan
pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan
mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17
sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda,
kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah
tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang
di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.
7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di
pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951
tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas
organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi
medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat
menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa
kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam
menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia
mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik
Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan
TNI pada tanggal 3 Februari 1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat
itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku
dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan
sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum
negara.